Rabu, 19 Maret 2014

Cerpen I Wayan Artika " Suara Mesin PLTGU Mengganggu Kenyamanan Wisatawan"



Cerpen:
SUARA MESIN PLTGU MENGGANGGU KENYAMANAN WISATAWAN
Oleh I Wayan Artika

            Hanya riak lembut, laut abu-abu, cakrawala siluet pegunungan di tengah pulau, perahu-perahu motor ditambat di beranda dusun nelayan, tiga mercu suar bagi kapal tanker pembawa solar ke PLTGU….
Istri mantan bupati Buleleng pada suatu masa, entah kapan, berlibur ke pantai wisata di tepi kota ini. Ia menginap di bungalow termahal. Tersenyum ramah kepada karyawan hotel. Dua malam setelah ia menginap aku selaku manajer berkunjung ke bungalow-nya, mengundang sarapan pagi, secara spesial. Bagaimanapun aku masih ingat, semasa suaminya menjadi bupati, hotel ini sering mendapat order bagi tamu-tamu, dari inspektorat hingga artis ibukota yang diundangnya konser di taman kota, Jalan Ngurah Rai.
            ”Selamat pagi Ibu.”
            ”Siapa ya?” Dia heran. Aku paham kalau dia lupa padahal dulu beberapa kali aku menghadap atau diminta ke rumah dinasnya, berbicara akrab dan tidak terpikir dia lupa sama sekali. Aku baru sadar jika itu semua adalah keakraban atau kehangatan semu, pura-pura, hanya dibuat-buat oleh para pejabat. Aku tertipu. Lama sekali dia menebakku, ”Siapa ya?” Mengulangi pertanyaannya, menatapku lebih dekat dengan mengangkat alis. Aku maklum. Pagi ini dia hanya tamu  biasa. Salahku memandangnya secara spesial.
            ”O, ya Ibu, kami merasa terhormat karena Ibu menginap di hotel ini.”
            Dia tidak cepat menjawab pujianku dan bagaimana kami menghormati tamu-tamu khusus seperti istri mantan bupati. Dia memuji, ”Hotel yang sangat nyaman, ramah.”
            ”Terima kasih Ibu.”
            ”Tapi, O ya.” Ia seperti akan menyampaikan sesuatu.
            Aku kira ini hal yang penting dan mungkin perlu cara khusus membicarakannya dalam  sarapan pagi.”Ibu, bagaimana jika saya selaku manajer hotel mengundang sarapan pagi di restoran dekat kolam renang?”
            Ia tersenyum, ”O, tentu saja.”
            Sambil berjalan menuju restoran, “Beginilah hotel ini Bu dan kami selalu berusaha  menomorsatukan pelayanan.”
            ”Di luar itu, emm,” Nada bicaranya meninggi.
            Aku mengangguk ramah, Apa gerangan yang akan disampaikan, pikirku.
            ”Tengah malam saya bangun karena bising. Ada suara keras mearung-raung.” Katanya ketus. Aku tahu ia sangat kecewa.
            Aku tahu suara apa yang dimaksud, pasti suara mesin PLTGU namun aku tak tahu arah pembicaraannya, ”Maaf, maksud Ibu?”
            ”Suara apa ya? seperti suara mesin besar dari arah desa. Sangat mengganggu dan aneh sekali suaranya. Membuat telinga sakit.”
            ”O jadi ibu mendengar suara itu?”
            ”Kenapa tidak? Suaranya jelas dan sangat mengusik istirahat saya. Menderu tiada henti. Bagaimana dengan tamu lain?”
            ”Maaf Ibu itu suara mesin.”
            Ia menatapku dengan sorot mata protes, ”Kan di daerah hotel ini tidak ada pabrik?”
            ”Begini Ibu, itu suara mesin pembangkit listrik, bukan pabrik.”
            ”Maksud Bapak?”
            ”Di dekat hotel ini, di pusat kawasan pantai wisata yang kecil ini ada PLTGU.”
            Dia heran, tercengang, dan tidak tahu PLTGU, ”Seperti apa kok diberi nama PLTGU. Pabrik?” Katanya lagi.
            Aku agak susah menjelaskannya dan kukatakan, ”Pembangkit listrik yang sangat besar, mesinnya sebesar gedung sekolah berlantai tiga.”
            Dia tampak kecewa sekali, ”Lho, kenapa bisa dibangun di daerah wisata?”
            ”Bukan cuma suaranya yang menggangu Bu, tapi pantai juga sering tercemar solar karena mesin yang sebesar gedung sekolah itu dikirimi bahan bakar langsung dari pantai oleh kapal tanker, melalui pipa di dasar laut.”
            ”Ya, mengapa bisa dibangun di sini? Kenapa tidak menolak?” Dia lebih tampak kecewa, menyesal, mukanya berkerut.
            ”Saya kan hanya manajer hotel Bu.”
            ”Bukan Bapak tapi masyarakat dan para pengusaha hotel, bersama bupati kan?”
            Aku geli akhirnya karena percakapan ini menjurus kepada suaminya, bupati sebelumnya yang mengeluarkan izin membangun PLTGU di kawasan ini. Aku berusaha menjaga percakapan agar tidak sampai menyinggung nama bupati yang lalu. ”Sudah ada penolakan, Bu, tapi tidak berhasil karena listrik juga penting. Hotel tidak bisa beroperasi tanpa listrik, bukan?”
            ”Itu betul tapi listrik kan tidak boleh menggangg, justru harus membuat kita merasa nyaman.” Katanya sambil tersenyum sinis pada keadaan.
            ”Memang demikian, Bu, tapi toh pembangkit listrik tetap jalan. Banyak sekali tamu yang protes. Kami dari pihak hotel berusaha menjelaskan agar tamu paham dan tidak menyalahkan hotel. Kami juga tidak mau menjelekkan pemerintah daerah di mata tamu-tamu hotel ini.”
            Ia mengangkat wajah, ”Bagaimana tanggapan mereka?”
            ”Mereka akhirnya bisa terima penjelasan saya. Tapi ujung-ujungnya sangat menyakitkan.”
            ”Menyakitkan? Mengapa?” Ia bertanya dengan hasrat ingin tahu yang besar.
            ”Tamu-tamu kami minta maaf dengan hormat bahwa mereka tidak bisa lagi menginap di hotel kami. Ada pula surat yang kami terima berisi permohonan maaf yang sama. Ya, hubungan hotel ini dengan tamu-tamu dari Indonesia dan dari mancanegara hancur.”
            ”Ya, pantaslah, saya juga kecewa. Kan tamu ingin istrirahat di malam hari dengan nyaman. Tapi kalau seperti dua malam saya nginap di sini, bising dan terkadang meraung-raung?” Ia berhenti sejenak, ”Ya pasti terganggu, kan?”
            ”Benar, Ibu. Tapi maafkan kami.”
            ”O tidak, Bapak kan bukan pemilik. Jadi, saya juga minta maaf berbicara tidak sopan dengan Bapak. Eh apakah Bapak tahu, siapa bupati waktu mesin listrik itu dibangun?”
            Akhirnya, perbincangan ini menjurus ke bupati yang sebelumnya. Aku bingung antara mengatakan dengan sebenarnya atau mengalihkan pembicaraan atau bahkan menyudahi pembicaraan ini dengan alasan apa saja yang penting terdengar sopan. Kok istri mantan bupati ini lupa dengan proyek PLTGU yang sebesar itu dan mengundang protes warga dan pengusaha hotel? Apakah benar lupa atau pura-pura lupa? Mungkinkah dia juga sama sekali tidak tahu apa yang dilakukan suaminya ketika jadi bupati? Ah, itu tidak mungkin. Yang jelas kali ini ia adalah dirinya sendiri, tanpa disadarinya. Kali ini walau sedetik, ia jujur.
            ”Maaf Bu, ...”
            Dia memotong, ”Tidak perlu minta maaf karena sekarang alam reformasi.”
            ”Ya Bu, Bapak!”
            ”Ya, saya ngerti, pasti seorang bapak. Kan semua bupati dari dulu sampai sekarang ini bupati di daerah ini laki-laki. Belum pernah ada bupati perempuan apalagi janda? Ya pasti bapak kan?”
            Wah ia seperti tidak tanggap kata Bapak, ”Bu, maaf sekali, Bapak!” Aku menyebut nama bupati sebelumnya dengan setengah berbisik agar terdengar sopan.
            ”O, jadi....” Dia sangat malu dan seperti orang yang tiba-tiba bangun dari mimpi. Tapi ia melawan rasa malu itu setelah ia sadar bahwa Bapak adalah suaminya sendiri lalu kembali menjadi pembohong, ”Tanpa mesin listrik yang besar kota ini pasti gelap. Wah, betapa hebatnya, ya, bisa membangun pabrik listrik yang besar.”
            Aku tidak perlu heran karena Dia sedang membela diri dan mengkhianati hati nuraninya. Aku tahu, ia sedang membela suaminya. Aku hanya mengangguk. Menatap wajahnya aku muak.

I Wayan Artika
Lahir di Batungsel, Pupuan Tabanan dan saat ini bekerja sebagai dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Buku yang telah terbit: Dukacarita Jayaprana (tesis), Pendidikan tanpa Rasa Ingin Tahu, Kembali ke Bali, Inses (novel), Rumah Kepompong (novel), Cintaku Salah Jalur (revisi novel Rumah Kepompong). Saat ini sedang menulis disertasi sastra Lekra dalam rangka studi S3 pada Program Pendidikan Doktor Linguistik, Konsentrasi Wacana Sastra di Universitas Udayana Denpasar.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar