Cerpen:
SUARA MESIN PLTGU MENGGANGGU KENYAMANAN WISATAWAN
Oleh I Wayan Artika
Hanya riak lembut, laut abu-abu,
cakrawala siluet pegunungan di tengah pulau, perahu-perahu motor ditambat di
beranda dusun nelayan, tiga mercu suar bagi kapal tanker pembawa solar ke
PLTGU….
Istri mantan bupati Buleleng
pada suatu masa, entah kapan, berlibur ke pantai wisata di tepi kota ini. Ia
menginap di bungalow termahal. Tersenyum ramah kepada karyawan hotel.
Dua malam setelah ia menginap aku selaku manajer berkunjung ke bungalow-nya,
mengundang sarapan pagi, secara spesial. Bagaimanapun aku masih ingat, semasa
suaminya menjadi bupati, hotel ini sering mendapat order bagi tamu-tamu,
dari inspektorat hingga artis ibukota yang diundangnya konser di taman kota,
Jalan Ngurah Rai.
”Selamat
pagi Ibu.”
”Siapa
ya?” Dia heran. Aku paham kalau dia lupa padahal dulu beberapa kali aku
menghadap atau diminta ke rumah dinasnya, berbicara akrab dan tidak terpikir dia
lupa sama sekali. Aku baru sadar jika itu semua adalah keakraban atau
kehangatan semu, pura-pura, hanya dibuat-buat oleh para pejabat. Aku tertipu. Lama
sekali dia menebakku, ”Siapa ya?” Mengulangi pertanyaannya, menatapku lebih
dekat dengan mengangkat alis. Aku maklum. Pagi ini dia hanya tamu biasa. Salahku memandangnya secara spesial.
”O,
ya Ibu, kami merasa terhormat karena Ibu menginap di hotel ini.”
Dia
tidak cepat menjawab pujianku dan bagaimana kami menghormati tamu-tamu khusus
seperti istri mantan bupati. Dia memuji, ”Hotel yang sangat nyaman, ramah.”
”Terima
kasih Ibu.”
”Tapi,
O ya.” Ia seperti akan menyampaikan sesuatu.
Aku
kira ini hal yang penting dan mungkin perlu cara khusus membicarakannya
dalam sarapan pagi.”Ibu, bagaimana jika
saya selaku manajer hotel mengundang sarapan pagi di restoran dekat kolam renang?”
Ia tersenyum, ”O, tentu saja.”
Sambil berjalan menuju restoran, “Beginilah
hotel ini Bu dan kami selalu berusaha
menomorsatukan pelayanan.”
”Di
luar itu, emm,” Nada bicaranya meninggi.
Aku
mengangguk ramah, Apa gerangan yang akan disampaikan, pikirku.
”Tengah
malam saya bangun karena bising. Ada suara keras mearung-raung.” Katanya ketus.
Aku tahu ia sangat kecewa.
Aku
tahu suara apa yang dimaksud, pasti suara mesin PLTGU namun aku tak tahu arah
pembicaraannya, ”Maaf, maksud Ibu?”
”Suara
apa ya? seperti suara mesin besar dari arah desa. Sangat mengganggu dan aneh
sekali suaranya. Membuat telinga sakit.”
”O
jadi ibu mendengar suara itu?”
”Kenapa
tidak? Suaranya jelas dan sangat mengusik istirahat saya. Menderu tiada henti. Bagaimana
dengan tamu lain?”
”Maaf
Ibu itu suara mesin.”
Ia
menatapku dengan sorot mata protes, ”Kan di daerah hotel ini tidak ada pabrik?”
”Begini
Ibu, itu suara mesin pembangkit listrik, bukan pabrik.”
”Maksud
Bapak?”
”Di
dekat hotel ini, di pusat kawasan pantai wisata yang kecil ini ada PLTGU.”
Dia
heran, tercengang, dan tidak tahu PLTGU, ”Seperti apa kok diberi nama PLTGU.
Pabrik?” Katanya lagi.
Aku
agak susah menjelaskannya dan kukatakan, ”Pembangkit listrik yang sangat besar,
mesinnya sebesar gedung sekolah berlantai tiga.”
Dia
tampak kecewa sekali, ”Lho, kenapa bisa dibangun di daerah wisata?”
”Bukan
cuma suaranya yang menggangu Bu, tapi pantai juga sering tercemar solar karena
mesin yang sebesar gedung sekolah itu dikirimi bahan bakar langsung dari pantai
oleh kapal tanker, melalui pipa di dasar laut.”
”Ya,
mengapa bisa dibangun di sini? Kenapa tidak menolak?” Dia lebih tampak kecewa,
menyesal, mukanya berkerut.
”Saya
kan hanya manajer hotel Bu.”
”Bukan
Bapak tapi masyarakat dan para pengusaha hotel, bersama bupati kan?”
Aku
geli akhirnya karena percakapan ini menjurus kepada suaminya, bupati sebelumnya
yang mengeluarkan izin membangun PLTGU di kawasan ini. Aku berusaha menjaga percakapan
agar tidak sampai menyinggung nama bupati yang lalu. ”Sudah ada penolakan, Bu,
tapi tidak berhasil karena listrik juga penting. Hotel tidak bisa beroperasi
tanpa listrik, bukan?”
”Itu
betul tapi listrik kan tidak boleh menggangg, justru harus membuat kita merasa
nyaman.” Katanya sambil tersenyum sinis pada keadaan.
”Memang
demikian, Bu, tapi toh pembangkit listrik tetap jalan. Banyak sekali
tamu yang protes. Kami dari pihak hotel berusaha menjelaskan agar tamu paham
dan tidak menyalahkan hotel. Kami juga tidak mau menjelekkan pemerintah daerah
di mata tamu-tamu hotel ini.”
Ia
mengangkat wajah, ”Bagaimana tanggapan mereka?”
”Mereka
akhirnya bisa terima penjelasan saya. Tapi ujung-ujungnya sangat menyakitkan.”
”Menyakitkan?
Mengapa?” Ia bertanya dengan hasrat ingin tahu yang besar.
”Tamu-tamu
kami minta maaf dengan hormat bahwa mereka tidak bisa lagi menginap di hotel
kami. Ada pula surat yang kami terima berisi permohonan maaf yang sama. Ya,
hubungan hotel ini dengan tamu-tamu dari Indonesia dan dari mancanegara hancur.”
”Ya,
pantaslah, saya juga kecewa. Kan tamu ingin istrirahat di malam hari
dengan nyaman. Tapi kalau seperti dua malam saya nginap di sini, bising dan
terkadang meraung-raung?” Ia berhenti sejenak, ”Ya pasti terganggu, kan?”
”Benar,
Ibu. Tapi maafkan kami.”
”O
tidak, Bapak kan bukan pemilik. Jadi, saya juga minta maaf berbicara tidak
sopan dengan Bapak. Eh apakah Bapak tahu, siapa bupati waktu mesin listrik itu
dibangun?”
Akhirnya,
perbincangan ini menjurus ke bupati yang sebelumnya. Aku bingung antara
mengatakan dengan sebenarnya atau mengalihkan pembicaraan atau bahkan menyudahi
pembicaraan ini dengan alasan apa saja yang penting terdengar sopan. Kok istri
mantan bupati ini lupa dengan proyek PLTGU yang sebesar itu dan mengundang
protes warga dan pengusaha hotel? Apakah benar lupa atau pura-pura lupa?
Mungkinkah dia juga sama sekali tidak tahu apa yang dilakukan suaminya ketika
jadi bupati? Ah, itu tidak mungkin. Yang jelas kali ini ia adalah dirinya
sendiri, tanpa disadarinya. Kali ini walau sedetik, ia jujur.
”Maaf
Bu, ...”
Dia
memotong, ”Tidak perlu minta maaf karena sekarang alam reformasi.”
”Ya
Bu, Bapak!”
”Ya,
saya ngerti, pasti seorang bapak. Kan semua bupati dari dulu sampai sekarang
ini bupati di daerah ini laki-laki. Belum pernah ada bupati perempuan apalagi
janda? Ya pasti bapak kan?”
Wah
ia seperti tidak tanggap kata Bapak, ”Bu, maaf sekali, Bapak!” Aku
menyebut nama bupati sebelumnya dengan setengah berbisik agar terdengar sopan.
”O,
jadi....” Dia sangat malu dan seperti orang yang tiba-tiba bangun dari mimpi. Tapi
ia melawan rasa malu itu setelah ia sadar bahwa Bapak adalah suaminya
sendiri lalu kembali menjadi pembohong, ”Tanpa mesin listrik yang besar kota
ini pasti gelap. Wah, betapa hebatnya, ya, bisa membangun pabrik listrik yang
besar.”
Aku
tidak perlu heran karena Dia sedang membela diri dan mengkhianati hati
nuraninya. Aku tahu, ia sedang membela suaminya. Aku hanya mengangguk. Menatap
wajahnya aku muak.
I Wayan Artika
Lahir di Batungsel, Pupuan Tabanan dan saat ini bekerja sebagai dosen di
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Buku yang telah terbit: Dukacarita
Jayaprana (tesis), Pendidikan tanpa Rasa Ingin Tahu, Kembali ke Bali,
Inses (novel), Rumah Kepompong (novel), Cintaku Salah Jalur (revisi
novel Rumah Kepompong). Saat ini sedang menulis disertasi sastra Lekra
dalam rangka studi S3 pada Program Pendidikan Doktor Linguistik, Konsentrasi
Wacana Sastra di Universitas Udayana Denpasar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar