Rabu, 19 Maret 2014

Cerpen Sonia Piscayanti "Langit Ini Mengejekku"



Langit Ini Mengejekku
Cerpen Kadek Sonia Piscayanti (Jawa Pos, 9 September 2012)

LANGIT ini mengejekku. Ia mengejekku karena aku kecil, tak berguna dan tersia-sia. Sementara ia megah dan istimewa. Lihatlah. Langit ini begitu luas tak berbatas, dan awan-awan yang berarak padanya seperti kapas-kapas raksasa yang bersuka ria membentangkan dirinya seluas-luasnya, memekarkan apa yang mereka punya, semegah-megahnya, sebahagia-bahagianya, tak takut akan kehilangan suatu apa.
Aku berjalan lagi, dengan lebih cepat. Udara dingin menembus jaket tebalku dan aku menggigil. Pagi ini suhunya mencapai delapan derajat. Gila. Dingin sekali.
Tak apa. Toh aku ingin membunuh sepi dengan keluar dari hostel sambil terus berjalan menuju pantai. Sambil mencuri curi waktu menatap langit. Lihat. Pagi  ini langit bersih dan biru sekali. Awan-awan putih bersih. Kadang awan-awan ini berkejaran, serupa anak kecil yang berlarian penuh keceriaan, kadang mereka berubah warna, kadang juga berubah bentuk, namun mereka tetap mempesona. Mereka bebas menjadi apa saja. Mereka tak sama, tak hendak menjadi sama. Namun mereka telah menjadi kekuatan besar, maha sempurna sehingga semua keindahan lain di dunia nampak menjadi bukan apa-apa. Ialah sang juara.
Ia juga percaya diri. Berani hidup sendiri. Dan tak peduli. Pada apa pun. Apalagi pada manusia. Ia punya hidup sendiri. Ia memiliki perjuangan sendiri. Yang penuh rahasia. Ia tak punya siapa pun untuk diajak berbagi. Ia hidup bersama awan-awan yang menjadi satu dengan dirinya sendiri seperti tubuh dan jiwa. Ia bukan langit yang cengeng dan melankolis.
Bukankah ia harus tegar, karena ia pelindung bumi, bukankah ia harus siap dengan berbagai bahaya yang mengancamnya, yang jauh lebih berat daripada yang diprediksi manusia-manusia sok pintar itu. Ia menghadapinya sendiri. Dengan semua risikonya. Ia tak ingin berbagi dengan apa pun, siapa pun, apalagi manusia.
Aku masih berjalan. Menuju pantai. Kunyalakan sebatang rokok, untuk menghalau dingin. Aku akan sesak nafas kalau terlalu dingin. Rokok kuhisap dalam, syal yang membelit leher kukencangkan. Boots-ku yang berbulu sintetik tampak mulai kedinginan. Ah, aku terus berjalan. Sesekali menengadah.
Entah karena suatu apa, langit di negeri ini menyisakan banyak pertanyaan di kepalaku. Sungguh gila. Semua kata kehilangan tuahnya, tak mampu melukiskan keagungan langit ini. Apa yang membuatnya begitu cantik tanpa cacat cela begini. Aku heran. Langit ini bukan langit biasa aku yakin.
Pastilah ia mengejek aku, yang termangu menatapnya. Aku hanya manusia. Yang bodoh dan pintar berpura-pura. Langit tertawa. Aku melihat tawanya di balik serumpun awan-awan itu. Sungguh, aku bodoh, tapi bagaimana aku bisa berpura-pura mengatakan langit ini indah. Itu dosa besar. Aku tidak main-main. Langit ini luar biasa.
Aku berjalan lagi. Sekitar lima belas menit lagi aku akan tiba di pantai.
Dingin masih menyergapku. Sesekali angin  menerpa wajahku, rambutku, dan aku menggigil lagi. Kakiku dingin meskipun diselimuti boots yang membungkus kaki hingga betis. Gila. Angin pantai membuat aku sesak. Makin dekat pantai, dinginnya malah makin menggila. Padahal ini sudah jam 9 pagi lewat sedikit. Aku menggigil. Sesakku akan makin parah. Tapi siapa peduli.
Kembali aku merenungi langit. Semua manusia mencoba menerkanya, mengajukan penawaran pikiran agar ia bisa diatur sesuai kehendak manusia. Gila. Ia tak serendah itu. Ia tak sesempit it u. Gila. Langit punya semua rahasia. Rahasia yang kau takkan pernah bisa tahu. Bunuhlah dirimu sendiri kalau kau mampu untuk tahu. Aku ikut mengutuk manusia.
Menengadah ke langit. Langit juga tersenyum. Sedikit mengejek.
Aku menunduk dan lanjut berjalan lagi. Layaklah langit mengejek kita semua, karena kebodohan kita semua. Atau kepongahan kita semua. Ia tak sudi mengenal kita, seperti kita yang seolah mengenalnya dekat tapi sibuk menelanjanginya, mengotorinya, merusaknya, dan bahkan mencabik-cabiknya. Namun langit diam saja. Gila, langit pasti berpikir. Manusia ini gila. Seperti nama yang diberikan pada kita, manusia, maka langit sudah tahu persis, kita ini hanya punya mimpi kosong dan lalu akan berakhir sia-sia.
Sepuluh menit lagi aku akan sampai. Aku mengerjapkan mata. Mencoba mempertajam penglihatanku pada sepotong langit yang menyerupai mulut dan sedang menyeringai seperti mengejek. Mungkin langit mengejek, manusia bisa ciptakan teori. Lalu ciptakan mainan bernama teknologi. Lalu ciptakan penyakit sendiri. Lalu bikin obat sendiri, tak berhasil, lalu bunuh diri. Mati. Bisa bunuh diri sendiri dengan teori saja sudah bangga.
Langit mengejek lagi. Aku mengetatkan syal berlapis-lapis di leherku. Dinginnya negeri ini benar-benar mengusikku, seperti juga pikiranku sendiri yang tak pernah diam. Rokok masih mengepul di jepitan bibirku.
Manusia sungguh dangkal. Akal dan pikirannya sungguh terbatas. Jadi langitlah yang berkuasa atas manusia. Manusia tak akan pernah berkuasa atas langit.
Langit mengejek lagi. Tunggu saja, hidup manusia tak akan lama lagi. Semakin ia merasa pintar, semakin ia cepat menjemput kematiannya sendiri! Ah, apakah langit sedang mangancamku? Aku tak peduli. Aku memang tak ingin peduli. Pada ancaman. Ini negeri yang aman, aku tak perlu merasa terancam.
Lalu siapa aku. Dan kenapa aku menuju pantai, sambil memandangi langit seperti orang gila yang kehilangan arah. Aku hanya tahu arah utara. Aku ingin ke utara. Itu saja. Rumahku di utara. Utara itu laut. Aku suka laut. Aku suka langit. Sebab di pantai, langit dan laut bersatu dan arah tak lagi perlu.
Sebab aku tak yakin lagi arahku. Aku tak yakin lagi dengan semua buatan manusia termasuk penunjuk arah. Aku merasa terjebak menjadi manusia yang seperti robot. Bertahun-tahun aku hidup dalam aturan sempit. Aku sukses dalam kerangka berpikir orang-orang itu. Yang memiliki definisi sukses seperti aturan-aturan yang tertulis itu. Sukses artinya ketika kamu dapat poin sekian-sekian. Aku dituntut ini itu. Diuji ini dan itu, dilukai dan diobati, lalu dilukai lagi. Semua sudah diatur. Pikiran diatur. Bahasa diatur. Mimpi pun diatur. Imajinasi juga diatur.
Beberapa menit lagi aku akan sampai. Rokokku hampir habis. Kuhisap dalam. Dingin masih menyertaiku.
Aku tak yakin pada manusia atau sejenisnya. Kecerdasan mereka kini memiskinkan dan mengerdilkan. Lihat apa yang mereka lakukan. Semua misteri telah lenyap oleh sebuah kata. Lihat wajah dunia. Kini kita tak bisa lagi menerka-nerka. Untuk apa menerka, toh semua sudah ada jawabannya. Kita dibikin sinting. Dunia ini tak berjarak. Dulu masih ada imajinasi, sekarang apa yang tersisa. Imajinasi dibuatkan menjadi nyata. Diselidiki, dikupas habis, dimaknai dengan seadanya lalu dijual. Ini imajinasi. Silakan dibeli. Apa lagi. Ini mimpi. Silakan dibeli. Mau mimpi apa. Tinggal pilih saja. Mau yang murah atau mahal silakan saja. Kami bantu. Kami wujudkan. Sepuluh tahun? Jangan, ini hanya lima menit saja. Kami bantu wujudkan. Hanya butuh lima menit atau kurang, bahkan kadang hanya dengan sekelebatan tangan, mimpi kita terwujud. Astaganaga. Mimpi pun dibungkus-bungkus layaknya permen lalu dijual dengan harga terjangkau. Dalam sekejap, mimpi pun ada di tangan kita. Lalu di mana kata perjuangan? Halloo. Masih waras? Hari gini memanggil perjuangan? No way. Perjuangan sudah mati. Bahkan kata-kata perjuangan sudah kehilangan akarnya. Perjuangan dulu dimaknai positif, sekarang malah dimaknai sebaliknya. Perjuangan dicurigai sebagai hanya kata masa lalu. Dangkal dan tak masuk akal.
Aku akhirnya tiba di pantai. Gila.
Pantai ini bersih sekali. Lautnya tenang dan bersih. Lagi-lagi langitnya pun makin terlihat indah di sini.
Lalu, mengapa aku di sini. Kumatikan rokokku yang tadi, lalu kunyalakan sebatang lagi.
Konon, aku di sini untuk sebuah tujuan. Konon aku dilahirkan untuk sebuah perubahan bagi diriku sendiri dan keluargaku. Konon aku orang yang berbeda. Konon aku luar biasa. Konon aku  pahlawan. Gila. Sebutan siapa itu. Ya orang-orang itu. Yang bodoh itu. Yang percaya padaku. Yang menaruh harapan padaku. Yang mencintaiku secara berlebih-lebihan dan tak wajar.
Angin pantai mendekat padaku. Aku duduk di tepi sebuah taman yang bangkunya menghadap ke pantai. Aku tenggelam lagi pada pikiranku.
Awalnya aku bahagia. Aku yakin. Aku mantap. Aku tahu siapa diriku dan tahu aku akan menjadi yang kuinginkan. Aku tahu ini akan terjadi. Aku sudah meramalkannya. Pertama kali, ketika aku menjadi juara kelas. Benar ramalanku, aku juara. Aku ikut lomba. Juara pula. Lalu siswa teladan. Juara lagi. Lalu nilai ujian tertinggi. Lalu apa lagi, dapat sekolah idola. Aku juga dapatkan dengan mudah. Lalu apa lagi, bintang sekolah, juara lagi, semuanya. Semua aku dapatkan. Aku belajar tapi tidak terlalu bekerja keras seperti kata-kata orang sok bijak, harus bekerja keras untuk menjadi apa yang diinginkan. Gila. Kata siapaaaa. Ak u bisa mendapatkan semua dengan satu kali jentikan jari saja. Aku seperti apa yang kuinginkan. Aku hanya sedikit beruntung. Aku hanya sedikit dari yang terpilih menjadi beruntung. Lalu apa lagi. Aku dapat sekolah favorit lagi. Dapat kampus favorit, juara favorit, lulusan terbaik. Bla-bla-bla.
Apanya yang istimewa. Aku sudah tahu ini akan terjadi. Ya Tuhan maafkan aku. Aku ingin sekali gagal. Kenapa kesombonganku juga tak membuatku gagal sekali saja. Please, aku ingin gagal. Supaya aku tahu artinya gagal. Tapi, Tuhan terus berbaik hati padaku. Hadiah demi hadiah terus mengalir dengan deras dan tak terbendung lagi. Aku lupa pada keinginanku untuk gagal.
Tuhan cerdik sekali. Ia mengujiku. Aku terbuai pada semuanya. Aku merasa melambung. Inilah aku dan hadiah-hadiah terbesarku. Terpesona ya, silakan. Apa maumu, tanyaku. Aku bertanya pada yang lain lagi, kau mau apa. Maaf, saya ga bisa bantu kamu. Saya ga bisa bantu orang untuk sukses. Silakan kamu ini menonton saja. Kamu tak layak dan tak terpilih. Maaf ya. Maaf. Hadiah-hadiah ini terlalu bagus-bagus untuk kubagi denganmu. Maaf ya aku kikir, maaf sekali, silakan minggir. Dan silakan menjadi orang tak beruntung. Silakan berjuang, aku ucapkan selamat dan semoga berhasil. Dan aku yakin aku tak berhasil. Karena tidak semua orang seberuntung aku.
Kunyalakan rokok berikutnya. Menghisapnya. Lalu perlahan menghembuskan asapnya. Sendiri, aku memandang lepas ke pantai. Aku benar benar sendiri di negeri ini. Orang-orang tak tahu siapa namaku, aku juga tak tahu nama mereka. Siapa peduli kau siapa.
Aku memikirkan diriku sendiri. Menelusuri kisahku sendiri.
Dengan semua kesuksesanku, lalu aku pun mulai gila dengan diriku sendiri, aku semakin cepat memacu diri, menjadi apa yang kuinginkan. Aku sadar ini salah, ini melampaui waktu yang disiapkan Tuhan, tapi aku melesat dan mewujudkan sendiri. Aku diberkahi. Tuhan tak marah padaku bahkan makin sayang padaku. Dan aku mulai minta macam-macam. Minta jadi ini. Diberikan aku posisi itu. Minta ini, sekarang. Diberi lagi. Minta mobil, rumah, suami, anak, semua diberi. Lalu, suatu hari, aku minta lagi. Aku katakan terus terang pada Tuhan, aku ingin ke sebuah negeri. Kusebutkan negeri ini yang hanya kutahu dari buku dan internet. Aku berdoa, doa dan doa dan yes.
Beberapa bulan kemudian, semua pintu terbuka untukku. Semua manusia tersenyum padaku. Semua orang jahat berbalik membukakan pintu lebar-lebar untukku. Mereka semua seolah mengusirku dengan baik ke negeri impian ini. Mereka semua seolah mendoakan yang terbaik untukku, meski aku curiga, sesungguhnya mereka berdoa yang terburuk untukku. Aku disilakan masuk ke sebuah negeri. Gila. Negeri ini pun berhasil kupijaki. Aku lalu sadar, aku pernah memohon sebuah kegagalan, namun semua mustahil bagiku, karena semua kegagalan berganti kesuksesan. Aku terpesona pada kesuksesanku yang kesekian ini. Menembus negeri impian!
Tuhan, aku malu. Kau terlalu baik sekali. Kau keterlaluan. Negeri ini kan jauh sekali, masa Kau izinkan aku memasukinya dengan mudah dan tanpa membayar apa pun. Ah, Tuhan. Aku jadi malu. Kau paling tahu siapa aku dan apa yang kumau.
Pertama kali aku menjejakkan kaki di tanah negeri ini, aku terpesona. Lihat ini. Waaah. Negeri ini berbeda sekali dengan negeriku. Negeri ini bersih sekali. Luas sekali. Tenang sekali. Teratur sekali. Lihat. Pohon-pohon berdiri berjajar dengan rapi. Mobil-mobil dengan anggun berjalan rapi, bak putri raja. Pejalan kaki berjalan hati-hati, cepat-cepat namun terukur sekali. Jalan-jalannya luas, lengang, bersih, manusianya bersih, hingga langitnya pun bersih sekali. Tua atau muda, ibu, bapak, yang cacat, yang normal, semua mendapat tempat. Mereka diberi kesempatan yang sama. Aku suka sekali. Seperti anak kecil, aku memelihara kekagumanku dan aku tak malu menyuarakannya. Berkali-kali aku berdecak WOOW. Dan orang-orang mengizinkanku. Mereka bahkan membukakan jalan bagiku yang ingin berjalan berputar-putar. Di sini, boleh berjalan seperti apa yang kita mau. Karena tempat berjalan memang luas dan kau bisa menari sebebas-bebasnya. Paling orang mengira kau gila. Tak apa. Peduli amat. Aku suka negeri ini. Aku harus menyuarakannya. Terlebih jika aku memandang ke atas. Memandang langit. Gila. Langit di negeri ini gila betul.
Kuberitahu orang-orang di sekitarku, bahwa langit mereka berbeda dengan langitku. Mereka tersenyum, bertanya. Kenapa. Kujelaskan, langit di negeri ini luas, bersih, rapi, dan teratur, megah, dan rendah hati. Ia seperti dekat sekali dengan bumi, seperti bisa dijangkau. Bukankah benar dugaanku, negeri ini luar biasa sekali, langit pun rendah hati di negeri ini. Orang-orang tertawa. Mereka menganggap aku gila.
Aku masih sendiri di pantai ini. Pukul sepuluh pagi. Aku tak tahu harus ke mana lagi. Aku memang tak sedang ada acara hari ini. Resminya, programku dimulai beberapa hari lagi. Jadi aku buang-buang waktuku di sini, di negeri yang aku tahu tak akan pernah kudatangi lagi. Entah karena apa.
Kutatap langit lagi.
Ah, aku ingat Tuhanku lagi. Kok Dia bisa-bisanya menciptakan langit yang berbeda-beda sesuai dengan karakter manusianya. Di negeriku, langitnya jauh, cupet dan sempit, seperti juga manusianya, tinggi hati, berpikiran cupet dan menyebalkan. Belum lagi warnanya keruh seperti hati orang-orangnya. Mungkin langit di negeriku sudah putus asa, sebersih-bersih apa pun ia membersihkan diri, tetap saja akhirnya ia tertutupi oleh hitam hati orang-orang yang ia naungi.
Aku tahu, di sebuah negeri yang lupa pada langit, manusia akan segera berakhir dengan sia-sia. Semuanya. Seperti aku. Tapi aku berbeda. Aku sudah sukses, untuk ukuran manusia di negeriku. Makanya aku di sini. Kata orang di negeriku, kalau sudah ke luar negeri, tepatnya ke negeri ini, berarti aku sukses. Apalagi dibiayai dan diberi fasilitas hebat, berarti aku sukses.
Tapi setibanya di sini, aku malah merasa tak sukses seperti konsep sukses di negeriku. Aku malah terpesona oleh langitnya dan menjadi terobsesi padanya. Aku malah merasa kecil. Aku bukan siapa-siapa di sini. Langit mengejekku. Aku jadi malu. Di negeriku, orang-orang seperti tak tahu malu, aku juga tak pernah malu, tak diajari malu. Karena langitnya juga tak membuatku malu. Tapi di sini?
Aku malu dan ragu. Aku ragu pada diriku sendiri. Siapakah aku yang terlalu muda ini. Apakah yang telah kulakukan selama masa mudaku. Pantaskah aku tak malu. Ternyata setelah kutelusuri, pantaslah langit mengejekku. Dengan kemudaanku, dan keadaanku, aku bukan siapa-siapa. Aku terlampau kecil, tak berguna, dan akan berakhir sia-sia.
Tapi aku masih bisa disebut beruntung, karena di negeri inilah aku tahu aku bukan siapa. Aku hanyalah aku saja. Bukan yang lain. Terima kasih langit, sudah baik hati mengejekku.
Lalu, Tuhan, t erima kasih juga karena terlalu baik padaku. Tanpa Tuhan aku tak mungkin sampai di negeri jauh ini dengan selamat. Tuhan, lagi-lagi Kau baik sekali. Aku malu pada-Mu Tuhan, sudah membawaku sejauh ini. Kau yang paling tahu siapa aku dan apa yang kumau.
Jadi, aku mengambil sebatang rokok lagi, kulanjutkan kisahku sendiri.
Sebelum tiba di negeri ini, sebelum bertemu langit ini, aku tahu apa yang kucari. Aku tahu apa yang kuingini, aku tahu semua akan berakhir seperti apa yang kupikirkan, hanya saja aku tak tahu akan semudah ini. Ketika aku berpikir, aku harus berada di sini, aku pun dengan cepat berada di sini. Aku seperti dilahirkan untuk menjadi apa pun yang kuinginkan. Secara cepat dan kilat.
Aku tahu, dan aku mensyukurinya, namun aku lelah mengetahui apa pun yang kuinginkan akan segera terjadi. Aku begitu takut menginginkan sesuatu. Aku begitu ingin gagal. Seingatku, aku pernah gagal sekali saja, itu ketika aku tak bisa menaiki sepeda. Tapi itu sudah lama sekali, aku tak ingat lagi. Aku lebih ingat pada kesuksesan lain yang bertubi-tubi dihadiahkan kepadaku. Waktu itu aku mabuk, pada semuanya, seperti juga orang mabuk melihat apa yang kuraih.
Jadi sekarang aku ingat semua. Ingat bahwa tujuanku ke negeri ini adalah untuk melarikan diri dari semua buaian hadiah-hadiah dari Tuhan dan memutuskan untuk belajar gagal. Dan aku harus memikirkan hal-hal yang bisa membuatku gagal. Itu terlihat mudah, tapi tentu tidak mudah bagiku yang terlahir untuk menang.
Langit mengejekku lagi. Aku tak yakin. Kukeluarkan rokokku yang kesekian. Dingin makin meyerbuku. Makin tinggi matahari, angin makin dingin. Gila.
Kuhirup rokokku sebatang lagi. Lebih dalam dan lebih lama. Aku sesak. Entahlah. Aku mual. Entahlah. Masih jam sepuluh dua puluh menit. Sekarang mungkin sudah sebelas derajat. Tapi aku tak tahu harus berbuat apa. Aku masih sendiri. Sesakku makin hebat. Aku batuk. Rokokku jatuh. Gila. Aku harus pergi. Aku harus gagal hari ini, aku tak bisa membiarkan pikiran-pikiran masa lalu yang penuh kemenangan memenuhi pikiranku. Semakin penuh dengan pikiran baik di masa lalu, aku akan semakin dekat dengan keinginanku yang lain, dan sebelum semuanya terkabul, aku harus mengusir semua pikiran baik itu. Aku bergegas pergi dari pantai. Pukul sebelas dua puluh dua menit. Aku rasakan sesakku makin berat. Gila. Ini sebelas derajat. Sudah sedikit lebih hangat. Tapi gigilku tambah kuat. Aku limbung, dan sendiri.
Tak ada yang mendekatiku. Siapa yang peduli. Aku sesak dan kehabisan nafas. Angin pantai menambah dingin dan aku makin sesak. Aku sendiri. Mataku menutup. Sepotong langit muncul di pelupuk mataku. Ia mengejek. Aku tersenyum. Telah kudapatkan apa yang kumau. Kegagalanku. Meski terlalu ce-pat. Terima kasih Tuhan, Kau yang paling tahu siapa aku dan apa yang kumau. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar