Langit
Ini Mengejekku
Cerpen Kadek Sonia Piscayanti (Jawa Pos, 9
September 2012)
LANGIT ini
mengejekku. Ia mengejekku karena aku kecil, tak berguna dan tersia-sia.
Sementara ia megah dan istimewa. Lihatlah. Langit ini begitu luas tak berbatas,
dan awan-awan yang berarak padanya seperti kapas-kapas raksasa yang bersuka ria
membentangkan dirinya seluas-luasnya, memekarkan apa yang mereka punya,
semegah-megahnya, sebahagia-bahagianya, tak takut akan kehilangan suatu apa.
Aku berjalan lagi, dengan lebih cepat. Udara dingin
menembus jaket tebalku dan aku menggigil. Pagi ini suhunya mencapai delapan
derajat. Gila. Dingin sekali.
Tak apa. Toh aku ingin membunuh sepi dengan keluar
dari hostel sambil terus berjalan menuju pantai. Sambil mencuri curi waktu
menatap langit. Lihat. Pagi ini langit bersih dan biru sekali. Awan-awan
putih bersih. Kadang awan-awan ini berkejaran, serupa anak kecil yang berlarian
penuh keceriaan, kadang mereka berubah warna, kadang juga berubah bentuk, namun
mereka tetap mempesona. Mereka bebas menjadi apa saja. Mereka tak sama, tak
hendak menjadi sama. Namun mereka telah menjadi kekuatan besar, maha sempurna
sehingga semua keindahan lain di dunia nampak menjadi bukan apa-apa. Ialah sang
juara.
Ia juga percaya diri. Berani hidup sendiri. Dan tak
peduli. Pada apa pun. Apalagi pada manusia. Ia punya hidup sendiri. Ia memiliki
perjuangan sendiri. Yang penuh rahasia. Ia tak punya siapa pun untuk diajak
berbagi. Ia hidup bersama awan-awan yang menjadi satu dengan dirinya sendiri
seperti tubuh dan jiwa. Ia bukan langit yang cengeng dan melankolis.
Bukankah ia harus tegar, karena ia pelindung bumi,
bukankah ia harus siap dengan berbagai bahaya yang mengancamnya, yang jauh
lebih berat daripada yang diprediksi manusia-manusia sok pintar itu. Ia
menghadapinya sendiri. Dengan semua risikonya. Ia tak ingin berbagi dengan apa
pun, siapa pun, apalagi manusia.
Aku masih berjalan. Menuju pantai. Kunyalakan sebatang
rokok, untuk menghalau dingin. Aku akan sesak nafas kalau terlalu dingin. Rokok
kuhisap dalam, syal yang membelit leher kukencangkan. Boots-ku yang
berbulu sintetik tampak mulai kedinginan. Ah, aku terus berjalan. Sesekali
menengadah.
Entah karena suatu apa, langit di negeri ini
menyisakan banyak pertanyaan di kepalaku. Sungguh gila. Semua kata kehilangan
tuahnya, tak mampu melukiskan keagungan langit ini. Apa yang membuatnya begitu
cantik tanpa cacat cela begini. Aku heran. Langit ini bukan langit biasa aku
yakin.
Pastilah ia mengejek aku, yang termangu menatapnya.
Aku hanya manusia. Yang bodoh dan pintar berpura-pura. Langit tertawa. Aku
melihat tawanya di balik serumpun awan-awan itu. Sungguh, aku bodoh, tapi
bagaimana aku bisa berpura-pura mengatakan langit ini indah. Itu dosa besar.
Aku tidak main-main. Langit ini luar biasa.
Aku berjalan lagi. Sekitar lima belas menit lagi aku
akan tiba di pantai.
Dingin masih menyergapku. Sesekali angin menerpa
wajahku, rambutku, dan aku menggigil lagi. Kakiku dingin meskipun diselimuti boots
yang membungkus kaki hingga betis. Gila. Angin pantai membuat aku sesak. Makin
dekat pantai, dinginnya malah makin menggila. Padahal ini sudah jam 9 pagi lewat
sedikit. Aku menggigil. Sesakku akan makin parah. Tapi siapa peduli.
Kembali aku merenungi langit. Semua manusia mencoba
menerkanya, mengajukan penawaran pikiran agar ia bisa diatur sesuai kehendak
manusia. Gila. Ia tak serendah itu. Ia tak sesempit it u. Gila. Langit punya
semua rahasia. Rahasia yang kau takkan pernah bisa tahu. Bunuhlah dirimu
sendiri kalau kau mampu untuk tahu. Aku ikut mengutuk manusia.
Menengadah ke langit. Langit juga tersenyum. Sedikit
mengejek.
Aku menunduk dan lanjut berjalan lagi. Layaklah langit
mengejek kita semua, karena kebodohan kita semua. Atau kepongahan kita semua.
Ia tak sudi mengenal kita, seperti kita yang seolah mengenalnya dekat tapi
sibuk menelanjanginya, mengotorinya, merusaknya, dan bahkan mencabik-cabiknya.
Namun langit diam saja. Gila, langit pasti berpikir. Manusia ini gila. Seperti
nama yang diberikan pada kita, manusia, maka langit sudah tahu persis, kita ini
hanya punya mimpi kosong dan lalu akan berakhir sia-sia.
Sepuluh menit lagi aku akan sampai. Aku mengerjapkan
mata. Mencoba mempertajam penglihatanku pada sepotong langit yang menyerupai
mulut dan sedang menyeringai seperti mengejek. Mungkin langit mengejek, manusia
bisa ciptakan teori. Lalu ciptakan mainan bernama teknologi. Lalu ciptakan
penyakit sendiri. Lalu bikin obat sendiri, tak berhasil, lalu bunuh diri. Mati.
Bisa bunuh diri sendiri dengan teori saja sudah bangga.
Langit mengejek lagi. Aku mengetatkan syal
berlapis-lapis di leherku. Dinginnya negeri ini benar-benar mengusikku, seperti
juga pikiranku sendiri yang tak pernah diam. Rokok masih mengepul di jepitan
bibirku.
Manusia sungguh dangkal. Akal dan pikirannya sungguh
terbatas. Jadi langitlah yang berkuasa atas manusia. Manusia tak akan pernah
berkuasa atas langit.
Langit mengejek lagi. Tunggu saja, hidup manusia tak
akan lama lagi. Semakin ia merasa pintar, semakin ia cepat menjemput
kematiannya sendiri! Ah, apakah langit sedang mangancamku? Aku tak peduli. Aku
memang tak ingin peduli. Pada ancaman. Ini negeri yang aman, aku tak perlu merasa
terancam.
Lalu siapa aku. Dan kenapa aku menuju pantai, sambil
memandangi langit seperti orang gila yang kehilangan arah. Aku hanya tahu arah
utara. Aku ingin ke utara. Itu saja. Rumahku di utara. Utara itu laut. Aku suka
laut. Aku suka langit. Sebab di pantai, langit dan laut bersatu dan arah tak
lagi perlu.
Sebab aku tak yakin lagi arahku. Aku tak yakin lagi
dengan semua buatan manusia termasuk penunjuk arah. Aku merasa terjebak menjadi
manusia yang seperti robot. Bertahun-tahun aku hidup dalam aturan sempit. Aku
sukses dalam kerangka berpikir orang-orang itu. Yang memiliki definisi sukses
seperti aturan-aturan yang tertulis itu. Sukses artinya ketika kamu dapat poin
sekian-sekian. Aku dituntut ini itu. Diuji ini dan itu, dilukai dan diobati,
lalu dilukai lagi. Semua sudah diatur. Pikiran diatur. Bahasa diatur. Mimpi pun
diatur. Imajinasi juga diatur.
Beberapa menit lagi aku akan sampai. Rokokku hampir
habis. Kuhisap dalam. Dingin masih menyertaiku.
Aku tak yakin pada manusia atau sejenisnya. Kecerdasan
mereka kini memiskinkan dan mengerdilkan. Lihat apa yang mereka lakukan. Semua
misteri telah lenyap oleh sebuah kata. Lihat wajah dunia. Kini kita tak bisa
lagi menerka-nerka. Untuk apa menerka, toh semua sudah ada jawabannya.
Kita dibikin sinting. Dunia ini tak berjarak. Dulu masih ada imajinasi,
sekarang apa yang tersisa. Imajinasi dibuatkan menjadi nyata. Diselidiki,
dikupas habis, dimaknai dengan seadanya lalu dijual. Ini imajinasi. Silakan
dibeli. Apa lagi. Ini mimpi. Silakan dibeli. Mau mimpi apa. Tinggal pilih saja.
Mau yang murah atau mahal silakan saja. Kami bantu. Kami wujudkan. Sepuluh
tahun? Jangan, ini hanya lima menit saja. Kami bantu wujudkan. Hanya butuh lima
menit atau kurang, bahkan kadang hanya dengan sekelebatan tangan, mimpi kita
terwujud. Astaganaga. Mimpi pun dibungkus-bungkus layaknya permen lalu dijual
dengan harga terjangkau. Dalam sekejap, mimpi pun ada di tangan kita. Lalu di
mana kata perjuangan? Halloo. Masih waras? Hari gini memanggil perjuangan? No
way. Perjuangan sudah mati. Bahkan kata-kata perjuangan sudah kehilangan
akarnya. Perjuangan dulu dimaknai positif, sekarang malah dimaknai sebaliknya.
Perjuangan dicurigai sebagai hanya kata masa lalu. Dangkal dan tak masuk akal.
Aku akhirnya tiba di pantai. Gila.
Pantai ini bersih sekali. Lautnya tenang dan bersih.
Lagi-lagi langitnya pun makin terlihat indah di sini.
Lalu, mengapa aku di sini. Kumatikan rokokku yang
tadi, lalu kunyalakan sebatang lagi.
Konon, aku di sini untuk sebuah tujuan. Konon aku
dilahirkan untuk sebuah perubahan bagi diriku sendiri dan keluargaku. Konon aku
orang yang berbeda. Konon aku luar biasa. Konon aku pahlawan. Gila.
Sebutan siapa itu. Ya orang-orang itu. Yang bodoh itu. Yang percaya padaku.
Yang menaruh harapan padaku. Yang mencintaiku secara berlebih-lebihan dan tak
wajar.
Angin pantai mendekat padaku. Aku duduk di tepi sebuah
taman yang bangkunya menghadap ke pantai. Aku tenggelam lagi pada pikiranku.
Awalnya aku bahagia. Aku yakin. Aku mantap. Aku tahu
siapa diriku dan tahu aku akan menjadi yang kuinginkan. Aku tahu ini akan
terjadi. Aku sudah meramalkannya. Pertama kali, ketika aku menjadi juara kelas.
Benar ramalanku, aku juara. Aku ikut lomba. Juara pula. Lalu siswa teladan.
Juara lagi. Lalu nilai ujian tertinggi. Lalu apa lagi, dapat sekolah idola. Aku
juga dapatkan dengan mudah. Lalu apa lagi, bintang sekolah, juara lagi,
semuanya. Semua aku dapatkan. Aku belajar tapi tidak terlalu bekerja keras
seperti kata-kata orang sok bijak, harus bekerja keras untuk menjadi apa yang
diinginkan. Gila. Kata siapaaaa. Ak u bisa mendapatkan semua dengan satu kali
jentikan jari saja. Aku seperti apa yang kuinginkan. Aku hanya sedikit
beruntung. Aku hanya sedikit dari yang terpilih menjadi beruntung. Lalu apa
lagi. Aku dapat sekolah favorit lagi. Dapat kampus favorit, juara favorit,
lulusan terbaik. Bla-bla-bla.
Apanya yang istimewa. Aku sudah tahu ini akan terjadi.
Ya Tuhan maafkan aku. Aku ingin sekali gagal. Kenapa kesombonganku juga tak
membuatku gagal sekali saja. Please, aku ingin gagal. Supaya aku tahu
artinya gagal. Tapi, Tuhan terus berbaik hati padaku. Hadiah demi hadiah terus
mengalir dengan deras dan tak terbendung lagi. Aku lupa pada keinginanku untuk
gagal.
Tuhan cerdik sekali. Ia mengujiku. Aku terbuai pada
semuanya. Aku merasa melambung. Inilah aku dan hadiah-hadiah terbesarku.
Terpesona ya, silakan. Apa maumu, tanyaku. Aku bertanya pada yang lain lagi,
kau mau apa. Maaf, saya ga bisa bantu kamu. Saya ga bisa bantu orang untuk
sukses. Silakan kamu ini menonton saja. Kamu tak layak dan tak terpilih. Maaf
ya. Maaf. Hadiah-hadiah ini terlalu bagus-bagus untuk kubagi denganmu. Maaf ya
aku kikir, maaf sekali, silakan minggir. Dan silakan menjadi orang tak
beruntung. Silakan berjuang, aku ucapkan selamat dan semoga berhasil. Dan aku
yakin aku tak berhasil. Karena tidak semua orang seberuntung aku.
Kunyalakan rokok berikutnya. Menghisapnya. Lalu
perlahan menghembuskan asapnya. Sendiri, aku memandang lepas ke pantai. Aku
benar benar sendiri di negeri ini. Orang-orang tak tahu siapa namaku, aku juga
tak tahu nama mereka. Siapa peduli kau siapa.
Aku memikirkan diriku sendiri. Menelusuri kisahku
sendiri.
Dengan semua kesuksesanku, lalu aku pun mulai gila
dengan diriku sendiri, aku semakin cepat memacu diri, menjadi apa yang
kuinginkan. Aku sadar ini salah, ini melampaui waktu yang disiapkan Tuhan, tapi
aku melesat dan mewujudkan sendiri. Aku diberkahi. Tuhan tak marah padaku
bahkan makin sayang padaku. Dan aku mulai minta macam-macam. Minta jadi ini.
Diberikan aku posisi itu. Minta ini, sekarang. Diberi lagi. Minta mobil, rumah,
suami, anak, semua diberi. Lalu, suatu hari, aku minta lagi. Aku katakan terus
terang pada Tuhan, aku ingin ke sebuah negeri. Kusebutkan negeri ini yang hanya
kutahu dari buku dan internet. Aku berdoa, doa dan doa dan yes.
Beberapa bulan kemudian, semua pintu terbuka untukku.
Semua manusia tersenyum padaku. Semua orang jahat berbalik membukakan pintu
lebar-lebar untukku. Mereka semua seolah mengusirku dengan baik ke negeri
impian ini. Mereka semua seolah mendoakan yang terbaik untukku, meski aku
curiga, sesungguhnya mereka berdoa yang terburuk untukku. Aku disilakan masuk
ke sebuah negeri. Gila. Negeri ini pun berhasil kupijaki. Aku lalu sadar, aku
pernah memohon sebuah kegagalan, namun semua mustahil bagiku, karena semua
kegagalan berganti kesuksesan. Aku terpesona pada kesuksesanku yang kesekian
ini. Menembus negeri impian!
Tuhan, aku malu. Kau terlalu baik sekali. Kau
keterlaluan. Negeri ini kan jauh sekali, masa Kau izinkan aku memasukinya
dengan mudah dan tanpa membayar apa pun. Ah, Tuhan. Aku jadi malu. Kau paling
tahu siapa aku dan apa yang kumau.
Pertama kali aku menjejakkan kaki di tanah negeri ini,
aku terpesona. Lihat ini. Waaah. Negeri ini berbeda sekali dengan negeriku.
Negeri ini bersih sekali. Luas sekali. Tenang sekali. Teratur sekali. Lihat.
Pohon-pohon berdiri berjajar dengan rapi. Mobil-mobil dengan anggun berjalan
rapi, bak putri raja. Pejalan kaki berjalan hati-hati, cepat-cepat namun
terukur sekali. Jalan-jalannya luas, lengang, bersih, manusianya bersih, hingga
langitnya pun bersih sekali. Tua atau muda, ibu, bapak, yang cacat, yang
normal, semua mendapat tempat. Mereka diberi kesempatan yang sama. Aku suka
sekali. Seperti anak kecil, aku memelihara kekagumanku dan aku tak malu
menyuarakannya. Berkali-kali aku berdecak WOOW. Dan orang-orang mengizinkanku.
Mereka bahkan membukakan jalan bagiku yang ingin berjalan berputar-putar. Di
sini, boleh berjalan seperti apa yang kita mau. Karena tempat berjalan memang
luas dan kau bisa menari sebebas-bebasnya. Paling orang mengira kau gila. Tak
apa. Peduli amat. Aku suka negeri ini. Aku harus menyuarakannya. Terlebih jika
aku memandang ke atas. Memandang langit. Gila. Langit di negeri ini gila betul.
Kuberitahu orang-orang di sekitarku, bahwa langit
mereka berbeda dengan langitku. Mereka tersenyum, bertanya. Kenapa. Kujelaskan,
langit di negeri ini luas, bersih, rapi, dan teratur, megah, dan rendah hati.
Ia seperti dekat sekali dengan bumi, seperti bisa dijangkau. Bukankah benar
dugaanku, negeri ini luar biasa sekali, langit pun rendah hati di negeri ini.
Orang-orang tertawa. Mereka menganggap aku gila.
Aku masih sendiri di pantai ini. Pukul sepuluh pagi.
Aku tak tahu harus ke mana lagi. Aku memang tak sedang ada acara hari ini.
Resminya, programku dimulai beberapa hari lagi. Jadi aku buang-buang waktuku di
sini, di negeri yang aku tahu tak akan pernah kudatangi lagi. Entah karena apa.
Kutatap langit lagi.
Ah, aku ingat Tuhanku lagi. Kok Dia bisa-bisanya
menciptakan langit yang berbeda-beda sesuai dengan karakter manusianya. Di
negeriku, langitnya jauh, cupet dan sempit, seperti juga manusianya, tinggi
hati, berpikiran cupet dan menyebalkan. Belum lagi warnanya keruh seperti hati
orang-orangnya. Mungkin langit di negeriku sudah putus asa, sebersih-bersih apa
pun ia membersihkan diri, tetap saja akhirnya ia tertutupi oleh hitam hati
orang-orang yang ia naungi.
Aku tahu, di sebuah negeri yang lupa pada langit,
manusia akan segera berakhir dengan sia-sia. Semuanya. Seperti aku. Tapi aku
berbeda. Aku sudah sukses, untuk ukuran manusia di negeriku. Makanya aku di
sini. Kata orang di negeriku, kalau sudah ke luar negeri, tepatnya ke negeri
ini, berarti aku sukses. Apalagi dibiayai dan diberi fasilitas hebat, berarti
aku sukses.
Tapi setibanya di sini, aku malah merasa tak sukses
seperti konsep sukses di negeriku. Aku malah terpesona oleh langitnya dan
menjadi terobsesi padanya. Aku malah merasa kecil. Aku bukan siapa-siapa di
sini. Langit mengejekku. Aku jadi malu. Di negeriku, orang-orang seperti tak
tahu malu, aku juga tak pernah malu, tak diajari malu. Karena langitnya juga
tak membuatku malu. Tapi di sini?
Aku malu dan ragu. Aku ragu pada diriku sendiri.
Siapakah aku yang terlalu muda ini. Apakah yang telah kulakukan selama masa
mudaku. Pantaskah aku tak malu. Ternyata setelah kutelusuri, pantaslah langit
mengejekku. Dengan kemudaanku, dan keadaanku, aku bukan siapa-siapa. Aku
terlampau kecil, tak berguna, dan akan berakhir sia-sia.
Tapi aku masih bisa disebut beruntung, karena di
negeri inilah aku tahu aku bukan siapa. Aku hanyalah aku saja. Bukan yang lain.
Terima kasih langit, sudah baik hati mengejekku.
Lalu, Tuhan, t erima kasih juga karena terlalu baik
padaku. Tanpa Tuhan aku tak mungkin sampai di negeri jauh ini dengan selamat.
Tuhan, lagi-lagi Kau baik sekali. Aku malu pada-Mu Tuhan, sudah membawaku
sejauh ini. Kau yang paling tahu siapa aku dan apa yang kumau.
Jadi, aku mengambil sebatang rokok lagi, kulanjutkan
kisahku sendiri.
Sebelum tiba di negeri ini, sebelum bertemu langit
ini, aku tahu apa yang kucari. Aku tahu apa yang kuingini, aku tahu semua akan
berakhir seperti apa yang kupikirkan, hanya saja aku tak tahu akan semudah ini.
Ketika aku berpikir, aku harus berada di sini, aku pun dengan cepat berada di
sini. Aku seperti dilahirkan untuk menjadi apa pun yang kuinginkan. Secara
cepat dan kilat.
Aku tahu, dan aku mensyukurinya, namun aku lelah
mengetahui apa pun yang kuinginkan akan segera terjadi. Aku begitu takut
menginginkan sesuatu. Aku begitu ingin gagal. Seingatku, aku pernah gagal
sekali saja, itu ketika aku tak bisa menaiki sepeda. Tapi itu sudah lama
sekali, aku tak ingat lagi. Aku lebih ingat pada kesuksesan lain yang
bertubi-tubi dihadiahkan kepadaku. Waktu itu aku mabuk, pada semuanya, seperti
juga orang mabuk melihat apa yang kuraih.
Jadi sekarang aku ingat semua. Ingat bahwa tujuanku ke
negeri ini adalah untuk melarikan diri dari semua buaian hadiah-hadiah dari
Tuhan dan memutuskan untuk belajar gagal. Dan aku harus memikirkan hal-hal yang
bisa membuatku gagal. Itu terlihat mudah, tapi tentu tidak mudah bagiku yang
terlahir untuk menang.
Langit mengejekku lagi. Aku tak yakin. Kukeluarkan
rokokku yang kesekian. Dingin makin meyerbuku. Makin tinggi matahari, angin
makin dingin. Gila.
Kuhirup rokokku sebatang lagi. Lebih dalam dan lebih
lama. Aku sesak. Entahlah. Aku mual. Entahlah. Masih jam sepuluh dua puluh
menit. Sekarang mungkin sudah sebelas derajat. Tapi aku tak tahu harus berbuat
apa. Aku masih sendiri. Sesakku makin hebat. Aku batuk. Rokokku jatuh. Gila.
Aku harus pergi. Aku harus gagal hari ini, aku tak bisa membiarkan
pikiran-pikiran masa lalu yang penuh kemenangan memenuhi pikiranku. Semakin
penuh dengan pikiran baik di masa lalu, aku akan semakin dekat dengan
keinginanku yang lain, dan sebelum semuanya terkabul, aku harus mengusir semua
pikiran baik itu. Aku bergegas pergi dari pantai. Pukul sebelas dua puluh dua
menit. Aku rasakan sesakku makin berat. Gila. Ini sebelas derajat. Sudah
sedikit lebih hangat. Tapi gigilku tambah kuat. Aku limbung, dan sendiri.
Tak ada yang mendekatiku. Siapa yang peduli. Aku sesak
dan kehabisan nafas. Angin pantai menambah dingin dan aku makin sesak. Aku
sendiri. Mataku menutup. Sepotong langit muncul di pelupuk mataku. Ia mengejek.
Aku tersenyum. Telah kudapatkan apa yang kumau. Kegagalanku. Meski terlalu
ce-pat. Terima kasih Tuhan, Kau yang paling tahu siapa aku dan apa yang kumau.
(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar