Rabu, 19 Maret 2014

Puisi-Puisi Gede Artawan



Gde Artawan
PASAR ANYAR DINI HARI
Dalam riuh sedu pasar Anyar dini hari
                     tak kutemukan gigil ombak  pada para ibu
                    yang mengalir di lapak sayuran dan  ikan tangkapan para nelayan  pesisir
         di gerobak  tempat buang sampah dan sisa remah rempah
                     tak kutemukan letih sungai para ibu yang menyisir hidup,
        di pisang goreng yang dingin dan secangkir kopi berembun
                      tak kutemukan ada yang menyongsong para lelaki
                    yang terseok dikalahkan waktu

ini pagelaran pagi saat hidup  mulai menggeliat di bakul perih                 
para perempuan gunung  berselimut tipis bebatuan       
dengan gemeretak menyerupai jerit yg irama tak beraturan
kucari kelebat bayangMu, siapa tahu di sini kutemukan
lintasan garis musim yang mencatat getar cintaku
atau perih luka sejarah diri yang berantakan
gerak tubuh serupa liuk alir sungai selalu tampak bergegas
kita yang saling tak menyapa selalu menyembunyikan                                                 
senandung kesedihan masing-masing di tas belanjaan, di dompet lusuh
di pelupuk mata sembab dan di sela gemuruh suara tawar menawar
duka nestapa dari rumah dan asal muasal yang berbeda









BULELENG, PARAGRAF PERMULAAN

Aku tak pernah mengerti panorama muram yang bagaimana kuletakkan pada awal paragraf ketika melukis kesedihan pohon dan luka bebukitan di belantara tubuhmu yang telanjang; padahal sengaja kupancangkan barisan tangkai bunga rumputan mulai dari geladak perahu yang berjejer di pesisir  pelabuhan tua sampai di ketinggian bebukitan. itu terlalu rapuh bagi lintasan angin, paling tidak sebaiknya kupancangkan rumpun bambu yang melengkung serupa pelangi  yang menyimpan matahari  dengan penuh keriangan dalam tanah becek di
hati yang berlumut. Kumulai dengan tangis bersahaja dengan bibit yang baik bagi tanah yang bersahabat dan musim yang baik hati. Memulai paragraf dengan ketulusan petani mencintai  pagi hari, biarlah tumbuh menjadi rumah kehijauan tempat berlabuh letih ,hawa yang sesak, padi yang menguning selalu menebar ucap selamat datang bagi burung-burung penggerat. Di  pertengahan, kutulis catatan untuk jalan yang berlumpur, ketetulusan hati dari kelopak buah yang dikoyak angin kencang, bersyukur pada perih yang dititipkan kekasih atau  kumulai dengan hening, tak menulis apa-apa,diam khusuk menelisik rongga gelap yang paling sunyi bagi ibu yang terlalu lama menyusui tanah tandusku










DI KOTA SINGARAJA                                                         
kurindukan danau kecil tempat istirahat sejenak sisa tangisku
yang mengalir dari hulu perih sejarah diri yang dirajam karma
di sini kurindukan  alir tempat angin mendayu aneka bunga
yg terjatuh dari pohon hening
               tempat burung piaraan para moyang belajar sakit

menatap wajahmu, Singaraja
aku mencoba masuk dalam dukamu
                               ketika engkau mulai kehilangan sunyi
dan anyir bau luka diri menebar sampai di hilir sungai
                                                 yg kehilangan jeram
dan wajah kota yang kehilangan tanah
aku bercermin  pada puing  hamparan  waktu
yang menyisakan gelisah cinta
rasa kehilangan membuat raga lunglai
dan gairah pada tanah melemah,
lalu terhadap pepohonan terkasih,
                         jerit yang bagaimana harus kubisikkan?
sementara ibu yang memintal kesuburan tanah
mulai kehilangan berjuta putik
dan buah yang menebar di cakrawala

aku menelurusuri liuk tubuhmu
mengarungi bentangan tanah yang  berpeluh
dalam desah yang kehilangan segalanya
aku masuk ke dalam impian impian
                          yang kau tulis di sebuah buku kumal
saat matamu sembab hampir kehabisan air mata
kau semakin merasa kelihatan lelah beranjak perlahan
menjadi ladangladang besi
tak ada  perdu, bunga rumputan  
dan tak ada danau menyimpan bayangan bulan
untuk menampung jerit anak-anak
                               yang tak berumah dimana-mana
anak-anakmu  merasa perahu hasratmu  tak pernah sampai
karena kau tetap setia melukis bayangan  danau
di lingkar karma di tengah rumah sederhana
di antara himpitan hidup yang keras
di sela ranting kering perdu jalanan dan becek tanah air mata
                                                dari derita berkepanjangan
kini tak kutemukan sejuk pancar matamu 
di sepiring nasi tak berlauk dan rempah hangat melimpah
ketika helai rambutmu berjatuhan di tanah
yang mulai kehilangan semerbak























DI KAMAR RAWAT INAP MAHOTTAMA SINGARAJA

Tak kudengar kicau burung yg bernyanyi di jendela kamar
menembangkan biru langit di  rapuh ranting pepohonan
yang menyembul dari sakit yang dititipkan musim padaku
malam bergerak perlahan, aku mencariMU di alir airpikukselang infus
yang menghubungkan liuk tarianku dari jalanan becek
ke jalan lapang penuh rumputan berputik cahaya
bagai terpidana aku dikurung waktu di ruang yang gelap
aturan yang ketat, bertumpuk-tumpuk obat dan doa-doa
bagi kesembuhan ragaku yg diperdengarkan orang-orang terkasih
kuhirup udara namun tak kudapati aroma ilalang dan asin laut
tak kutemukan hiruk pikuk jalanan dan riuh pasar mumbul
tempatku mereguk sunyi dini hari di sela para pedagang
yang berpeluh embun.
aku tak boleh bersedih apalagi menangis,
lantas jika tak kualirkan air mataku kepada siapa
                                            tanah tandus kering pepohonan mengeluh?

Aku yang sebatang kara didera gelisah,
Lalu di  sungai yang mana tempat aku melabuhkan leteh?
Jiwa yang letih memang perlu istirahat sejenak,
tapi ruang ini terasa sesak
aku dikurung belukar penuh duri di hutan tak bersatwa,
angin terasa malas bertiup
disini aku mulai belajar mencintai kepompong jiwa yang kosong
yang dititipkan cahaya di rahim ibu musim




SINGARAJA DALAM EMPAT ALINEA
Di alinea pertama kau tulis mawar; padahal aku menginginkan bebatuan dan pepohonan purba. Ini panorama bukit Sudaji senja hari saat kawanan burung pulang membawa cerita kembara dan lelah duka lara masing-masing, rembulan yang sepenggal menyembul dari jiwa yang kering. Lanskap diri serupa onggokan diam bebatuan dalam lingkar semadi yang tak pernah patah. Selanjutnya, di alinea kedua kau tulis badai; padahal aku menginginkan biota laut. Ini samudra hening tempat perahu daun jati menjelajah pulau pulau dengan muatan luka, lalu sejenak singgah di halaman rumah yang kaubangun dengan berhelaihelai kepedihan. Di alinea ketiga kau tulis api, perkampungan sudah habis terbakar, ada selendang putih bercak darah sebagian hangus tersangkut di puing tiang yang ambruk; padahal aku menginginkan air. Ini bentangan kemarau dari musim yang salah dan diri yang sengsara. Aku mendambakan sungai dengan dam yang berjejer teratur, dari liuk alirnya kutemukan kesejatian, dari sejuk airnya kutemukan berpetakpetak sawah dalam bening bola mata tanah.
Di alinea keempat, tak kutemukan apa apa, hanya kertas kosong; padahal aku menginginkan
berjuta kosakata. Ini ruang percakapan hening bagi jiwa yang ribut, bagi jiwa yang hiruk











BIODATA GDE ARTAWAN

GDE ARTAWAN lahir di Klungkung, 20 Februari 1959. Dosen di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Undiksha. Pendidikan terakhir S3 program doktor Linguistik Universitas Udayana. Menulis esei,puisi, cerpen di beberapa media massa.Sering diundang menjadi pembicara dalam kegiatan sastra dan temu ilmiah, serta ditunjuk menjadi juri  dalam kegiatan pembacaan dan penulisan sastra. Menerima Anugerah Seni Wija Kusuma dua kali dari pemerintah Buleleng, tahun 1999 dan tahun 2007. Di Singaraja menjadi koordinator Dermaga Seni Buleleng ( DSB) yang kerapkali menggelar kegiatan apresiasi  sastra dan beberapa kali menggelar lomba penulisan puisi se-Bali memperebutkan Singa Ambara Raja Award dalam rangka hari ulang tahun kota Singaraja. Kumpulan cerpennya ‘ Petarung Jambul’ mendapat Anugerah Seni Widya Pataka dari Pemerintah Propinsi Bali tahun 2008. Buku karya sastranya terhimpun dalam ‘Kaki Langit’(1984). ‘Buleleng dalam Sajak’(1996), ‘Kesaksian Burung Suksma’(1996), ‘Spektrum’ (1997), ‘Tentang Putra Fajar’ (2001), ‘Puisi Penyair Bali’ (2006), Dendang Denpasar, Nyiur Sanur (2012).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar