Gde Artawan
PASAR ANYAR DINI HARI
Dalam riuh sedu pasar
Anyar dini hari
tak kutemukan gigil ombak pada para ibu
yang mengalir di lapak
sayuran dan ikan tangkapan para
nelayan pesisir
di gerobak tempat buang sampah dan sisa remah rempah
tak kutemukan letih sungai
para ibu yang menyisir hidup,
di pisang goreng yang dingin dan
secangkir kopi berembun
tak kutemukan ada yang
menyongsong para lelaki
yang terseok dikalahkan waktu
ini pagelaran pagi saat
hidup mulai menggeliat di bakul perih
para perempuan
gunung berselimut tipis bebatuan
dengan gemeretak menyerupai
jerit yg irama tak beraturan
kucari kelebat bayangMu,
siapa tahu di sini kutemukan
lintasan garis musim yang
mencatat getar cintaku
atau perih luka sejarah
diri yang berantakan
gerak tubuh serupa liuk
alir sungai selalu tampak bergegas
kita yang saling tak
menyapa selalu menyembunyikan
senandung kesedihan
masing-masing di tas belanjaan, di dompet lusuh
di pelupuk mata sembab dan
di sela gemuruh suara tawar menawar
duka nestapa dari rumah dan
asal muasal yang berbeda
BULELENG, PARAGRAF PERMULAAN
Aku tak pernah mengerti panorama
muram yang bagaimana kuletakkan pada awal paragraf ketika melukis kesedihan
pohon dan luka bebukitan di belantara tubuhmu yang telanjang; padahal sengaja
kupancangkan barisan tangkai bunga rumputan mulai dari geladak perahu yang
berjejer di pesisir pelabuhan tua sampai
di ketinggian bebukitan. itu terlalu rapuh bagi lintasan angin, paling tidak
sebaiknya kupancangkan rumpun bambu yang melengkung serupa pelangi yang menyimpan matahari dengan penuh keriangan dalam tanah becek di
hati yang berlumut. Kumulai dengan
tangis bersahaja dengan bibit yang baik bagi tanah yang bersahabat dan musim
yang baik hati. Memulai paragraf dengan ketulusan petani mencintai pagi hari, biarlah tumbuh menjadi rumah
kehijauan tempat berlabuh letih ,hawa yang sesak, padi yang menguning selalu menebar
ucap selamat datang bagi burung-burung penggerat. Di pertengahan, kutulis catatan untuk jalan yang
berlumpur, ketetulusan hati dari kelopak buah yang dikoyak angin kencang,
bersyukur pada perih yang dititipkan kekasih atau kumulai dengan hening, tak menulis
apa-apa,diam khusuk menelisik rongga gelap yang paling sunyi bagi ibu yang
terlalu lama menyusui tanah tandusku
DI KOTA SINGARAJA
kurindukan danau kecil
tempat istirahat sejenak sisa tangisku
yang mengalir dari hulu
perih sejarah diri yang dirajam karma
di sini kurindukan alir tempat angin mendayu aneka bunga
yg terjatuh dari pohon
hening
tempat burung piaraan para
moyang belajar sakit
menatap wajahmu,
Singaraja
aku mencoba masuk dalam
dukamu
ketika engkau
mulai kehilangan sunyi
dan anyir bau luka diri
menebar sampai di hilir sungai
yg kehilangan jeram
dan wajah kota yang
kehilangan tanah
aku bercermin pada
puing hamparan
waktu
yang menyisakan gelisah cinta
rasa kehilangan membuat
raga lunglai
dan gairah pada tanah
melemah,
lalu terhadap pepohonan
terkasih,
jerit yang bagaimana
harus kubisikkan?
sementara ibu yang
memintal kesuburan tanah
mulai kehilangan berjuta
putik
dan buah yang menebar di
cakrawala
aku menelurusuri liuk
tubuhmu
mengarungi bentangan
tanah yang berpeluh
dalam desah yang kehilangan segalanya
aku masuk ke dalam impian
impian
yang kau tulis di
sebuah buku kumal
saat matamu sembab hampir
kehabisan air mata
kau semakin merasa
kelihatan lelah beranjak perlahan
menjadi ladangladang
besi
tak ada perdu,
bunga rumputan
dan tak ada danau menyimpan bayangan bulan
untuk menampung jerit
anak-anak
yang tak berumah
dimana-mana
anak-anakmu merasa perahu hasratmu tak pernah sampai
karena kau tetap setia
melukis bayangan danau
di lingkar karma di tengah
rumah sederhana
di antara himpitan
hidup yang keras
di sela ranting
kering perdu jalanan dan becek tanah air mata
dari derita berkepanjangan
kini tak
kutemukan sejuk pancar matamu
di sepiring nasi tak berlauk
dan rempah hangat
melimpah
ketika helai
rambutmu berjatuhan di
tanah
yang mulai kehilangan
semerbak
DI KAMAR RAWAT INAP MAHOTTAMA SINGARAJA
Tak kudengar kicau burung
yg bernyanyi di jendela kamar
menembangkan biru langit
di rapuh ranting pepohonan
yang menyembul dari sakit
yang dititipkan musim padaku
malam bergerak perlahan,
aku mencariMU di alir airpikukselang infus
yang menghubungkan liuk
tarianku dari jalanan becek
ke jalan lapang penuh
rumputan berputik cahaya
bagai terpidana aku
dikurung waktu di ruang yang gelap
aturan yang ketat,
bertumpuk-tumpuk obat dan doa-doa
bagi kesembuhan ragaku yg
diperdengarkan orang-orang terkasih
kuhirup udara namun tak
kudapati aroma ilalang dan asin laut
tak kutemukan hiruk pikuk
jalanan dan riuh pasar mumbul
tempatku mereguk sunyi
dini hari di sela para pedagang
yang berpeluh embun.
aku tak boleh bersedih
apalagi menangis,
lantas jika tak kualirkan
air mataku kepada siapa
tanah tandus kering pepohonan mengeluh?
Aku yang sebatang kara
didera gelisah,
Lalu di sungai yang mana tempat aku melabuhkan leteh?
Jiwa yang letih memang
perlu istirahat sejenak,
tapi ruang ini terasa
sesak
aku dikurung belukar
penuh duri di hutan tak bersatwa,
angin terasa malas bertiup
disini aku mulai belajar
mencintai kepompong jiwa yang kosong
yang dititipkan cahaya di rahim ibu musim
SINGARAJA DALAM EMPAT
ALINEA
Di
alinea pertama kau tulis mawar; padahal aku menginginkan bebatuan dan pepohonan
purba. Ini panorama bukit Sudaji senja hari saat kawanan burung pulang membawa
cerita kembara dan lelah duka lara masing-masing, rembulan yang sepenggal
menyembul dari jiwa yang kering. Lanskap diri serupa onggokan diam bebatuan
dalam lingkar semadi yang tak pernah patah. Selanjutnya, di alinea kedua kau
tulis badai; padahal aku menginginkan biota laut. Ini samudra hening tempat
perahu daun jati menjelajah pulau pulau dengan muatan luka, lalu sejenak
singgah di halaman rumah yang kaubangun dengan berhelaihelai kepedihan. Di
alinea ketiga kau tulis api, perkampungan sudah habis terbakar, ada selendang
putih bercak darah sebagian hangus tersangkut di puing tiang yang ambruk;
padahal aku menginginkan air. Ini bentangan kemarau dari musim yang salah dan
diri yang sengsara. Aku mendambakan sungai dengan dam yang berjejer teratur,
dari liuk alirnya kutemukan kesejatian, dari sejuk airnya kutemukan
berpetakpetak sawah dalam bening bola mata tanah.
Di
alinea keempat, tak kutemukan apa apa, hanya kertas kosong; padahal aku
menginginkan
berjuta kosakata. Ini ruang percakapan
hening bagi jiwa yang ribut, bagi jiwa yang hiruk
BIODATA GDE ARTAWAN
GDE ARTAWAN lahir di
Klungkung, 20 Februari 1959. Dosen di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Undiksha. Pendidikan terakhir S3 program doktor Linguistik Universitas Udayana.
Menulis esei,puisi, cerpen di beberapa media massa.Sering diundang menjadi
pembicara dalam kegiatan sastra dan temu ilmiah, serta ditunjuk menjadi juri dalam kegiatan pembacaan dan penulisan sastra.
Menerima Anugerah Seni Wija Kusuma dua kali dari pemerintah Buleleng, tahun
1999 dan tahun 2007. Di Singaraja menjadi koordinator Dermaga Seni Buleleng (
DSB) yang kerapkali menggelar kegiatan apresiasi sastra dan beberapa kali menggelar lomba
penulisan puisi se-Bali memperebutkan Singa Ambara Raja Award dalam rangka hari
ulang tahun kota Singaraja. Kumpulan cerpennya ‘ Petarung Jambul’ mendapat
Anugerah Seni Widya Pataka dari Pemerintah Propinsi Bali tahun 2008. Buku karya
sastranya terhimpun dalam ‘Kaki Langit’(1984). ‘Buleleng dalam Sajak’(1996),
‘Kesaksian Burung Suksma’(1996), ‘Spektrum’ (1997), ‘Tentang Putra Fajar’
(2001), ‘Puisi Penyair Bali’ (2006), Dendang Denpasar, Nyiur Sanur (2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar