Isyarat
Angin
gemuruh di hutan
Memukul
ranting
Yang lama
juga.
Tak
terhitung jumlahnya
Mobil di
jalan
Dari ujung
ke ujung
Aku ingin
menekan tombol
Hingga lampu
merah itu
Abadi.
Angin, mobil
dan para pejalan
Pikirkanlah,
ke mana engkau pergi.
Kota
Kotaku yang
jauh
padam
lampu-lampunya
angin
menerpa
lorong-lorong
jelaga
Kotaku yang
jauh
menyerah
pada malam
seperti di
siang hari
ia menyerah
pada
kekosongan
Tuhan
nyalakanlah
neon-neon itu
Laut
Siapa
menghuni pulau ini kalau bukan pemberani?
Rimba menyembunyikan
harimau dan ular berbisa.
Malam
membunuhmu bila sekejap kau pejam mata.
Tidak. Di
pagi hari kau temukan bahwa engkau
di sini.
Segar bugar. Kita punya tangan
dari batu
sungai. Karang laut menyulapmu jadi
pemenang.
Dan engkau berjalan ke sana.
Menerjang
ombak yang memukul dadamu.
Engkau bunuh
naga raksasa. Jangan takut.
Sang kerdil
yang berdiri di atas buih itu
adalah Dewa
Ruci. Engkau nmenatapnya: menatap dirimu.
Matanya
adalah matamu. Tubuhnya adalah tubuhmu.
Sukmanya
adalah sukmamu. Laut adalah ruh kita
yang baru!
Tenggelamkan rahasia ke rahimnya:
Bagai
kristal kaca, nyaring bunyinya.
Sebentar
kemudian, sebuah debur
gelombang
yang jauh menghiburmu.
saksikanlah
Tidak ada
batasnya bukan?
Desa
Yang
berjalan di lorong
hanya
suara-suara
barangkali kaki
orang
atau
malaikat atau bidadari atau hantu
mereka
sama-sama menghuni desa di malam hari
Kadang-kadang
kentong berjalan
dipukul
tangan hitam
dari pojok
ke pojok
menyalakan
kunang-kunang
di sela
bayang-bayang
Kalau ingin
melihat hidup
pandanglah
bintang-bintang
yang turun
rendah
menyentuh
ujung kelapa
atau
berhenti di bawah rumpun bambu
mendengarkan
tanah menyanyi
Tunggulah,
engkau tak akan percaya
Siapakah
mengerang dari balik dinding bambu
Barangkali
ibu yang kehabisan air susu
Ya Tuhan!
Penyucian
Sebelum
dihinakan
kalungkan
daun bodi
dalam benang
emas di pagi hari
tuliskan
huruf-huruf Abadi
menandakan
engkau lahir kembali
Di tengah
yang serba empat
tersembunyi
pusat
di mana
hidup mengendap
ambil air
dari dasarnya
satu teguk
untuk ragamu
satu teguk
untuk ruhmu.
Sempurnalah
wujudmu
Pergi ke
utara
mereka
siapkan puji-pujian
untukmu.
Ada pun
Kalimat
ialah
hakikatmu yang pertama.
Ada pun Laku
ialah
hakikatmu yang kedua.
Petuah
Langkah
tidak untuk dihitung
ia musnah
disapu hujan
Ketika
engkau sampai pangkalan
ingatlah,
itu bukan tujuan
Cakrawala
selalu menjauh
tak pernah
meninggalkan pesan
di mana ia
tinggal
Hanya matamu
yang tajam
menangkap
berkas-berkasnya
di pasir,
sebelum engkau melangkah
Tanpa
tanda-tanda
engkau sesat
di jalan
kabut
menutupmu
menggoda
untuk diam
Karena kabut
lebih pekat dari udara
engkau bisa
terlupa.
Kenangan
Yang
tergantung di udara:
jari
menunjuk ke bulan
mengingatkan
kenangan
Kapas-kapas
ladang
dipanen
angin malam
melayang-layang
putih
bersaing
dengan bintang
pergi ke utara
menyongsong
rumpun bambu kuning
yang berubah
jadi seruling
Dengan
sukarela, waktu
mengikut
bujukan anjing
menyalak
ringan dari temaram.
Lima pasang
sejoli
berjalan-jalan
di taman
membiarkan
rambut terayun
mandi
cahaya.
Bulan adalah
guna-guna
penyubur
cinta.
Sesudah
Perjalanan
Sesampai di
ujung
engkau
menengadah ke langit
kekosongan
yang lembayung
Ayolah, ruh
tiba saatnya
engkau
menyerahkan diri
Sunyi
mengantarmu ke kemah
di balik
awang-uwung
di mana
engkau istirahat
sesudah
perjalanan yang jauh.
Sepi
Jangan sepi
ditinggalkan
karena ia
adik kandungmu
ketika di
rahim ibu
Jangan
dibunuh sepi
karena ia
kawan jalanmu
ketika
diselubung mimpi
Di subuh
pagi itu
ia menunggu
mengalungkan
bunga ke lehermu
mengucap
doa-doa
menyanyikan
mantra.
Aduh
engkau
sungguh berbahagia
karena hari
ini
ia
meluangkan waktu
bersamamu
sendiri.
Bencana
Toko-toko di
kota
sudah
ditutup. Anjing menjajakan gonggongnya
pada yang
bergegas lewat. Tak seorang tahu
sekarang jam
berapa. Hari sudah jadi kemarin.
Nyanyian
sudah berhenti di night-club.
Polisi
kembali ke pos, menyerahkan pestol
dan tanda
pangkat pada bajingan. Yang serba
hitam
mengambil alih pasar-pasar. Menawan
wali kota.
Mendudukkan kucing di pos-pos
penjagaan.
Mereka tahu, semua sudah jadi tikus.
Sia-sia!
Rumah-rumah tertutup rapat.
Tidak peduli
hari menggelap, lampu jalan
memecah
bola-bolanya karena sedikit gerimis,
terdengar
retaknya. Kertas-kertas koran,
coklat dan
lusuh menggulung kotoran kuda.
Besi-besi
berkarat memainkan sebabak silat
di jalanan,
lalu diam mengancam. Terdengar
gemuruh
tapak kuda di setiap muka rumah,
merebut
darah dari jantung. Detak darah tidak
karena
urutan, tapi diperintah ringkikan kuda.
Nyanyian
sudah berhenti, dihapus dari ingatan.
Diam
Diam itu
udara
mengendap di
pohon
menidurkan derkuku
menjentik
ranting patah
menyulam
rumah laba-laba
Yang petapa
menutup mata
Ketika angin
membisik duka
mengusap
halus ruang
dengan
isyarat jantungnya
Serangga
berjalan biasa
seolah ia
tak di sana
Yang petapa
menutup mata
ketika udara
menggoda dendam
hanya napas
yang lembut
menghembus
cinta
Daun pun
mengerti
menghapus
debu di dahinya
Yang diam.
Yang petapa.
Yang
sahabat.
Yang cinta.
Nama-nama
Nenek moyang
mencipta nama-nama
Mereka
tinggalkan begitu saja tanpa catatan kaki
Seolah
sempurna isi kamus
Ketika hari
mendung dan engkau perlu mantel
Tidak lagi
kautemukan di halamannya
Berceceran.
Hujan bahkan melepas sampul
Sesudah
leluhur dikuburkan
Alangkah
mudahnya mereka larut
Sebagai
campuran kimia yang belum jadi
Terserap
habis ke tanah.
Karena hari selalu
punya matahari
Nama-nama
terpanggil kembali
Dengan malu
mereka datang
Telanjang
sampai ke tulang
Tiba di meja
mencatatkan nomor-nomor kartu
Menandatangani
perjanjian baru
Pepohonan
Sebagai
layaknya pepohonan
menampung
kenangan
dunia yang
tergantung di awan
sudah sampai
di simpang
Ada kubu
terbungkus daunan
mengeluh
pelan
memanjakan
impian
Ayolah kubur
dukamu di rumputan
senja sudah
mendekat
malam
berjalan merayap
engkau tentu
mengharap bulan
Dalam
pepohonan
yang berbuah
rindu
aku
mendengar
sesuatu yang
tak kutahu
Namun aku
suka padamu.
Tentang
Kuntowijoyo
Kuntowijoyo
lahir di Yogyakarta, 18 September 1943. Gelar strata 1 di Fakultas Sastra dan
Kebudayaan Univ. Gadjah Mada (1969). Gelar MA di Univ. Connectitut (1975),
Gelar Ph.D di Univ. Colombia dalam ilmu sejarah. Bukunya antara lain: Dilarang
mencintai bunga-bunga (kumcer), Impian Amerika, Mengusir Matahari
(kumpulan fabel politik, 1999) . Novelnya: Kreta Api yang Berangkat Pagi
Hari, Khotbah di atas Bukit (1976), Pasar (1972). Kumpulan puisinya
yang pertama adalah Suluk Awang-Uwung (1975).
Catatan Lain
Baru
sekarang mengenal Kuntowijoyo melalui puisi, perkenalan pertama saya dengan
cerpennya. Barangkali sewaktu masih setia memelototi harian Republika saat
sekolah menengah atas. Saya menyukai cerpen-cerpennya. Apalagi setelah
mahasiswa di Jogja ketemu buku Impian Amerika (buku yang sekarang hilang
entah ke mana). Itu termasuk buku yang saya sayangi. Saya juga beli bukunya
yang lain, Mengusir Matahari, sebuah kumpulan fabel politik. Saya juga
baca novel Pasar, minjam di sebuah taman bacaan. Rasanya juga terbaca
novel Khotbah di Atas Bukit, yang dalam biodata kumpulan puisi Isyarat
disebut sebagai karya sastra yang halus, yang mencari hakikat hidup. Tapi
saya tidak mampu menikmati novel itu saat itu. Saya lebih suka novel Pasar,
karena lebih realis. Pada masa-masa itu, hampir bersamaan waktunya, saya juga
sedang menikmati novel-novel Umar Kayam dan Y.B. Mangunwijaya, sebelum
berlanjut ke novel-novel Pram. Tapi yang saya sukai tentu novel-novel Agatha
Christie. Hehe. Nggak, ding. Semua novel memiliki kekuatannya sendiri-sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar